Sabtu, 02 April 2011

KEPEMIMPINAN DALAM MUHAMMADIYAH


by Haedar Nashir
(BAGIAN 1: BASIS NILAI DAN LEGITIMASI)
Menggambarkan atau menjelaskan kepemimpinan
Muhammadiyah secara utuh tidaklah mudah, lebih-lebih
yang bersifat empirik. Fenomena empirik dalam
Muhammadiyah –sebagaimana fenomena sosial dan keagamaan
yang lainnya— seringkali beragam atau tidak tidak tunggal, sehingga
tidak dengan mudah untuk digeneralisasi. Ketidak-tunggalan
fenomena empirik itu bahkan semakin menjadi tampak rumit atau
kompleks ketika ditarik pada konsep-konsep normatif, yang tidak
jarang pula bersifat pusparagam dan multitafsir. Dunia empirik dan
normatif tidak lepas dari konstruksi yang membuatnya sehingga
pada akhirnya bersifat relatif dan subjektif.
Ambillah contoh mengenai bagaimana format dari fenomena
dan norma kepemimpinan kolegial dalam Muhammadiyah, yang
selama ini dianggap sebagai ciri khas kepemimpinan Persyarikatan.
Seperti apakah sebenarnya kepemimpinan kolegial yang dipandang
ideal itu? Apakah kepemimpinan kolektif itu masih memberi ruang
pada kebebasan dan otoritas individu atau bersifat mutlak seperti
dalam gaya kepemimpinan kolektif-totaliter.
Demikian halnya dengan konsep atau sosok nyata dari figur
pemimpin yang dianggap ideal dalam Muhammadiyah. Apa ciri
pemimpin Muhammadiyah yang ideal dan apakah sungguh ada
pemimpin ideal dalam Muhammadiyah itu? Sebab sering terjadi
bahwa setiap pemimpin itu memiliki idealisasi di mata umatnya
pada masing-masing periode, yang belum tentu ideal untuk periode
lain yang berbeda. Idealisasi itu sendiri hanyalah konstruksi dari
umat atau warga pengikutnya, yang belum tentu diterima oleh
kelompok umat yang berbeda. Sosok pemimpin ideal tidak jarang
bersifat imaji publik, yang pada intinya juga bersifat konstruksi.
Karena itu, mendeskripsikan tentang konsep dan struktur
kepemimpinan dalam Muhammadiyah haruslah disertai dengan
pemahaman bahwa pelukisan tersebut sekadar upaya
menampilkan gambaran yang tidak utuh dan bersifat relatif, bukan
merupakan generalisasi yang ideal. Idealisasi juga jangan
dianggap doktrin. Kita sekadar sedang berusaha memahami
bagian-bagian dari apa yang disebut dengan struktur
kepemimpinan Muhammadiyah melalui konstruksi atau penafsiran
yang sepenuhnya bersifat parsial atau tidak utuh.
Jika konstruksi mengenai kepemimpinan Muhammadiyah
itu dikaitkan dengan patokan-patokan yang disebut Islami atau
Islam, perlu dipahami juga bahwa wilayah tafsirnya sangat plural
dan luas rentangannya. Boleh jadi satu pihak akan menarik
konsep kepemimpinan yang dipandang ideal itu pada sisi akhlaq,
sementara yang lain pada aspek intelektual atau mu’amalah, dan
lain sebagainya, dengan tafsir masing-masing sesuai dengan
referensi dan fokus perhatian yang menstrukturnya. Konstruksi
normatif itu sendiri seringkali tergantung pada para penafsirnya.
Bahkan boleh jadi apa yang disebut normatif itu sendiri tidaklah
otentik, selain karena dipengaruhi oleh faham penafsirnya, juga
tidak jarang bukanlah wilayah normatif.
Sikap dan pemahaman yang bersifat relatif semacam itu
penting untuk dikedepankan agar tidak terjebak pada memutlakan
suatu pandangan dan menjadikan idealisasi sebagai dogma.
Sebab ketika sebuah pandangan itu dimutlakan dan kemudian
menjadi hegemoni, biasanya akan dengan mudah dijadikan
parameter tunggal yang tidak jarang dipakai untuk menjadi alat
menghakimi atau memvonis tanpa perspektif yang luas. Padahal
sejatinya, aspek kepemimpinan –termasuk dalam tataran
empirik— sungguh merupakan area yang penuh dinamika dan
tidak sepenuhnya dapat dicandra sekadar dengan norma-norma
ideal, lebih-lebih dengan patokan norma yang masih dapat
diperdebatkan dan bersifat multiinterpretasi.
Masalah kepemimpinan sebagian besar melibatkan faktorfaktor
multiaspek seperti latar belakang sosial dan individual,
struktur dalam sistem kepemimpinan tersebut, interaksi antara
pemimpin dan yang dipimpin, kondisi dan konteks yang
berkembang saat itu, kepentingan-kepentingan, selain factor nilai
dan norma yang dianut dalam kepemimpinan tersebut.
Nilai dan Norma
Di lingkungan Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan
struktur organisasi maupun kepemimpinan dikaitkan dengan
landasan atau orientasi nilai dan norma, yang rujukannya pada
ajaran Islam. Pada tataran empirik tidaklah mudah untuk mencari
rujukan mengenai struktur organisasi dan kepemimpinan
Muhammadiyah yang didasarkan pada nilai atau norma yang
ideal berdasarkan ajaran Islam secara langsung. Apakah format
struktur dan kepemimpinan yang dipilih Muhammadiyah selama
ini merupakan pengejawantahan langsung dari nilai-nilai dan
norma-norma Islam secara integralistik atau bersifat substantif
semata atau sebagai hal yang praktis belaka sehingga lebih
merupakan wilayah yang bercorak “sekular” atau duniawi dengan
mengadopsi sistem birokrasi modern.
Sedangkan mengenai nilai dan norma kepemimpinan yang
telah menjadi alam pikiran kolektif dalam Muhammadiyah ialah
konsep amanat dan uswah hasanah. Amanat dikaitkan dengan
kedudukan dan fungsi jabatan dalam kepemimpinan
Muhammadiyah, sedangkan uswah hasanah berkaitan dengan
identifikasi diri para pemimpin Muhammadiyah yang muaranya
DR. H HAEDAR NASHIR, M.SI.
SUARA MUHAMMADIYAH 01 / 96 | 1 – 15 JANUARI 2011 13
pada figur Nabi Muhammad sebagai suri tauladan. Bagaimana
dengan konsep amanat para pemimpin Muhammadiyah dalam
menduduki dan menjalankan fungsi kepemimpinan yang seringkali
dihadapkan pada tuntutan-tuntutan praktis? Dalam tradisi
Muhammadiyah ada penerimaan atas idiom, “jangan mengejar
jabatan”, tetapi “apabila diserahi jabatan jangan menolak”.
Pada tingkat ideal konsep amanat dan uswah hasanah tersebut
tentu mudah untuk disepakati dan menjadi mode for action yang
niscaya. Tetapi, pengejewantahannya tidak jarang mengalami
ketegangan kreatif karena di satu pihak seringkali patokan normatif
itu membangun konstruksi yang sangat bercorak puritan sehingga
lahir idealisasi kepemimpinan “sorgawi”, tetapi pada saat yang
sama berhadapan dengan fenomena-fenomena nyata yang
seringkali bercorak “duniawi” yang membuka ruang adanya
ketidak-idealan atau bahkan kesalahan yang melekat dalam diri
para pemimpinnya. Hal-hal yang secara ideal secara normatif
seringkali berbeda jauh dalam kenyaan empirik karena adanya
dinamika duniawi yang bersifat khas seperti terikatnya para
pemimpin sebagai manusia biasa dalam tuntutan-tuntutan duniawi.
Debat yang sempat mencuat pada masa kepemimpinan K.H.
A.R. Fakhruddin seputar gagasan Drs. H. Lukman Harun tentang
pemimpin Muhammadiyah agar digaji sebagai bentuk profesionalisasi,
merupakan salah satu dari ketegangan nilai/norma
antara yang ideal dengan yang real sebagaimana disebutkan itu.
Demikian pula mengenai tuntutan-tuntutan agar para pemimpin
Muhammadiyah “aktif total” dan menjadi “figur teladan” di tengah
tuntutan-tuntutan dan keterbatasan-keterbatasan manusiawi.
Masalah tersebut merupakan ketegangan yang tak pernah surut
dalam perjalanan kepemimpinan Persyarikatan. Pendek kata,
bahwa nilai dan norma ternyata selalu memerlukan pelembagaan
dan tidak jarang menghadapi masalah-masalah aktualisasi yang
dilematis dan khas duniawi.
Hal terpenting yang harus menjadi acuan dasar para pimpinan
Muhammadiyah ialah, pertama nilai-nilai Islam termasuk di dalamnya
akhlaq Islami wajib menjadi fondasi dalam kepemimpinan
Muhammadiyah siapapun dan format apapun pemimpinnya.
Kedua, spirit dan komitmen para pemimpin Muhammadiyah
haruslah kuat dan optimal dalam menjalankan kepemimpinan yang
dilandasai keikhlasan, pengkhidmatan, dan amal shaleh untuk
memajukan kemajuan umat dan bangsa melalui Muhammadiyah.
Ketiga konsistensi antara nilai dan tindakan, kata dan perbuatan,
niat dan praktek, ilmu dan amal, serta menunjukkan diri sebagai
uswah hasanah yang otentik dan tidak dibuat-buat atau palsu. Jika
selalu menyuarakan kepemimpinan yang Islami, maka tunjukkan
keislaman itu dalam tindakan, perbuatan, dan kenyataan sehingga
bukan sekadar norma, lisan, dan jargon.
Legitimasi Kepemimpinan
Kepemimpinan di mana pun, selain distruktur oleh nilai dan
norma, juga secara empirik dibangun di atas power structure
(bangunan kekuasaan) sebagai dasar legitimasi sekaligus menjadi
ciri khas dari institusi/kultur kepemimpinan yang bersangkutan, yang
tidak jarang membedakannya dengan struktur/kultur kepemimpinan
pada komunitas lainnya. Kekuasaan di sini tentu dalam makna
duniawai, bukan kekuasaan Tuhan sebagaimana sering disalahtafsirkan
oleh sementara kalangan yang berpandangan radikal.
Bahwa sumber segala kekuasaan pasti dari dan berada di genggaman
Allah SWT, manusia hanya me njalankan fungsi-fungsi
kekuasaan relatif di dunia. Jadi yang dimaksud kekuasaan dalam
kepemimpinan itu dalam makna duniawi dan bersifat relatif, tidak
disamakan dengan kekuasaan Allah yang mutlak.
Dalam Muhammadiyah tidak begitu dipersoalkan mengenai
bangunan struktur kekuasaan yang melandasi kepemimpinannya.
Muhammadiyah jarang memperbincangkan mengenai konsep
imamah dan seat of authority yang membentuk format kepemimpinannya.
Muhammadiyah tampaknya tidak tertarik atau membahas
tentang imamat al-uzma dalam bangunan struktur kepemimpinannya
sebagai puncak otoritas, termasuk membahas
mengenai boleh atau tidaknya perempuan dalam puncak piramida
kepemimpinan itu. Hal yang telah diterima secara konvensi atau
tradisi bahwa Muhammadiyah menganut sistem musyawarah
atau demokrasi dalam kepemimpinannya. Secara tidak langsung
Muhammadiyah mempraktekkan kepemimpinan demokrasi
dengan struktur kekuasaan yang bercorak keumatan (kerakyatan)
dan egalitarian. Sumber kekuasaan atau legitimasi kekuasaan
berasal dari umat melalui muktamar yang harus dipertanggungjawabkan
pula kepada umat di muktamar berikutnya.
Pemaknaan demokrasi jangan ditarik ke konsep kekuasaan
manusia vis a vis (lawan) kekuasaan Tuhan. Demokrasi sebagai
basis kekuasaan yang meligitimasi kepemimpinan tentu harus
dimaknai relatif, bahwa kepemimpinan dari, oleh, dan untuk rakyat
(umat) tentu ada bingkai dan batasannya, sejauh sejalan dengan
nilai-nilai dasar Islam. Dalam makna relatif dan sejalan dengan
ajaran Islam itulah Muhammadiyah membingkai kepemimpinan
demokrasi berbasis musyawarah sebagai basis legitimasi dan
otoritas sekaligus mekanisme dalam mengatur segala ihwal
organisasi. Dengan demikian Muhammadiyah menjadi organisasi
yang terbuka dan kepemimnannya bersifat demokratis.
Karena itu iklim demokrasi menjadi sangat terbuka dalam kepemimpinan
Muhammadiyah, bahkan kadang berlebihan sehingga
nyaris tak ada batas antara pemimpin dan umat atau antarlini
kepemimpinan. Kondisi ini selain positif dalam membangun tatanan
sosial yang terbuka di Muhammadiyah, tetapi kadang mencerabut
rasa takzim dan hubungan-hubungan otoritatif dalam Muhammadiyah
yang dalam batas-batas tertentu diperlukan. Lebih jauh lagi tumbuh
kecenderungan untuk tidak menaati keputusan pimpinan manakala
muncul ketidak-puasan dalam kebijakan organisasi. Tidak jarang
unit-unit kelembagaan termasuk amal usaha dan badan-badan
lainnya cenderung menjadi otonom, bahkan dalam batas tertentu
menjadi “kerajaan-kerajaan” sendiri, yang tidak mudah untuk diatur
dalam sistem kepemimpinan Muhammadiyah. Namun kini terjadi
perkembangan yang positif kecenderungan otonomisasi itu mulai
melonggar dan mengalami pelembagaan dalam ketaatan asas terhadap
kepemimpinan persyarikatan, sehingga terjadi regulasi dan
rasionalisasi. Jika di sana sini masih terdapat kecenderungan yang
tidak mau diatur oleh persyarikatan, maka harus terus dilakukan
penataan dan konsolidasi secara tersistem, selain melalui berbagai
pendekatan yang elegan. Hal itu diperlukan agar kepemimpinan
Persyarikatan menjadi kekuatan regulasi dalam seluruh ranah
kepemimpinan Muhammadiyah, termasuk di amal usaha, majelis,
lembaga, organisasi otonom, dan institusi bagian lainnya. Muhammadiyah
menjadi kekuatan sistem yang solid.l

source :http://pdm1912.wordpress.com/2011/02/10/kepemimpinan-dalam-muhammadiyah/
reposted by dita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar