Sabtu, 02 April 2011

MEMOTRET PERJALANAN POLITIK MUHAMMADIYAH

MEMOTRET PERJALANAN POLITIK MUHAMMADIYAH
Oleh: Rifdia Nofiandi Ma’arif
A. Muqaddimah
Tulisan ini tercetus dilatarbelakangi oleh berita yang muncul akhir-akhir ini baik itu media cetak, elektronik, bahkan sampai di halaman-halaman situs internet bahwa akan ada partai politik baru yang bernama Partai Matahari Bangsa (PMB). Partai berlambang Matahari dengan background warna merah ini digagas oleh tokoh-tokoh muda Muhammadiyah, misalnya mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Imam Addaruquthni dan Abdul Mu'thi serta mantan Ketua Umum IMM Ahmad Rofiq. Meskipun sampai tulisan ini dibuat dari PP Muhammadiyah merasa tidak ada kaitan dan kepentingan dengan pendirian PMB tersebut.
Sudah diketahui bersama sejak munculnya jargon “Memuhammadiyahkankan kembali Muhammadiyah” sekitar akhir tahun 60-an, kemudian diformalkan lewat Khittah Ponorogo tahun 1969 memang secara praktis Muhammadiyah tidak lagi berkecimpung dalam arena politik. Muhammadiyah ingin menegaskan dirinya sebagi organisasi dakwah kemasyarakatan. Sekarang apabila ada partai politik yang mengaku berbasis masa Muhammadiyah, tentunya ini akan menjadi persoalan. Memang dari saat pendirian Muhammadiyah sampai sekarang telah terjadi metamorfose sikap politik Muhammadiyah. Tulisan ini akan mencoba memotret perjalanan politik Muhammadiyah dari waktu ke waktu.
B. Landasan Operasional Politik Muhammadiyah
Secara normatif, gerak perjuangan Muhammadiyah dijelaskan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Sementara secara operasional, bahwa Muhammadiyah memilih lahan dakwah di bidang kemasyarakatan ditegaskan dalam khittah (garis) perjuangan diantaranya; Khittah Ponorogo 1969, Khittah Surabaya 1978, Khittah Denpasar 2002. Berikut ini adalah kutipan panjang tentang Khittah Perjuangan dalam Kehidupan Bernegara dan Bernegara yang dikutip dari www.muhammadiyah.or.id.
Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur".
Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.
Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.
Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.
Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.
Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar.
Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
C. Metamorfose Sikap Politik Muhammadiyah
  1. Tahun 1912-1926, Muhammadiyah dinyatakan bukan sebagai organisasi politik, meskipun banyak anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan aktif dalam organisasi Budi Utomo, Sarikat Islam, Partai Sarikat Islam Indonesia.
  2. Tahun 1927-1938, Muhammadiyah memantapkan diri sebagi organisasi Islam untuk amal). Anggota Muhammadiyah yang memasuki Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) terkena disiplin organisasi, tidak boleh merangkap keanggotaan dengan Muhammadiyah.
  3. Tahun 1938-1942, Pada tahun 1923 para pemuka Joung Islamitten Bond (JIB) dan para anggota Muhammadiyah berhasil mendirikan Partai Islam Indonesia (PII), tetapi Muhammadiyah sebagai organisasi tetap tidak menetapkan secara resmi terhadap eksistensi partai itu.
  4. Tahun 1942-1945, Muhammadiyah bersama dengan oraganisasi-organisai Islam mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia Indonesia (MIAI) dan Muhammadiyah sebagai organisasi tetap tidak merupakan bagian dari majelis ini.
  5. Tahun 1945-1960, Pada tahun 1945 MIAI akhirnya berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Muhammadiyah sebagai anggota istimewa dan dinyatakan sebagi bagian structural dari partai itu. Pada tahun 1950, Muhammadiyah tidak algi menjadi anggota istimewa Masyumi.
  6. Tahun 1960-1965, Muhammadiyah dalam posisi yang sulit sebab situasi politik kenegaraan yang semakin panas, dan dominasi kekuatan komunis sangat menetukan.
  7. Tahun 1965-1971, Muhammadiyah dinyatakan oleh pemerintah sebagai Organisasi Masyarakat (Ormas) yang berfungsi politik riel. Artinya Muhammadiyah berhak mempunyai wakil-wakil dalam legislatife. Pada periode ini ada usaha dari orang Islam yang aspirasi politiknya belum tertampung dalam partai politik yang ada, akhirnya menetapkan membentuk Partai Muslimin Indonesia meskipun Muhammadiyah masih tetap memliki independensinya.
  8. Tahun 1971- Sekarang, Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittah (garis) perjuangannya dengan Da’wah Amar Ma’rif Nahi Munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan baik secara teritis konseptual, secara operasional, secara riel bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesiayang berpancasila dan UUD 1945, menjadi masyarakat yang adil makmur serta sejahtera.
D. Memandang Politik Muhammadiyah Kini
Bila melihat perjalanan politik Muhammadiyah di atas memisahkan Muhammadiyah arena pusaran politik praktis sungguh mustahil. Muhammadiyah memang pernah merasakan panasnya politik praktis. Gagasan untuk mendirikan partai baru juga menandakan proses demokratisasi telah berjalan di lingkungan Muhammadiyah. Di negara demokratis, pembentukan partai adalah wajar dan sah-sah saja. Sebagai saluran politik, aspirasi warga Muhammadiyah yang beragam tentu perlu diakomodir dan dipandang sebagai aset berharga, apalagi selama ini partai politik yang ada dianggap sebagai saluran politik dianggap kurang bisa mengakomodir aspirasi warga Muhammadiyah.(Cahyono, 2004)
Pertanyaannya adalah: seberapa besar keuntungan dan kerugian mendirikan partai baru? Dari sisi keuntungan, mungkin saja kader-kader Muhammadiyah mendapat ruang aktualisasi politik yang lebih kondusif. Kader-kader Muhammadiyah yang potensial di bidang politik, bisa ikut mewarnai pentas politik dan memberi kontribusi pada jagad politik Indonesia. Karena memang agaknya sulit mengabaikan peran dan kekuatan Muhammadiyah sebagai bagian dari peta perubahan politik di negeri ini. (Cahyono, 2004)
Tapi, kerugiannya juga penting untuk dipertimbangkan. Untuk mendirikan partai baru, dibutuhkan sumber daya manusia dan finansial yang tidak sedikit. Lebih dari itu, Muhammadiyah selama ini adalah sebagai gerakan sosial pembaharuan yang lebih menitikberatkan persoalan sosial kemasyarakatan. Politik bagi Muhammadiyah banyak menghabiskan energi. Hal ini tentu memperlihatkan bahwa mudharatnya lebih besar dari pada maslahatnya. (Cahyono, 2004)
E. Penutup
Menurut hemat penulis, sebenarnya pendirian partai baru dalam tubuh Muhammadiyah saat ini belum dibutuhkan. Karena terbukti lebih banyak ruginya dari pada untungnya. Selain itu, perlu dijadikan perenungan bersama bahwa dengan terjun ke dunia politik praktis akan mengikis bahkan menggeser ‘ruh’ dakwah Muhammadiyah menjadi dakwah yang penuh dengan kepentingan sesaat untuk memuaskan ‘syahwat’ politik semata. Tanpa mendirikan partai, sebenarnya aspirasi politik warga Muhammadiyah pun sudah tertampung dan tersalurkan cukup baik. Selama ini, tidak sedikit kader dan warga Muhammadiyah yang menyebar dan menyalurkan aspirasi ke partai-partai lain.
Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan dalam khittah perjuangannya, Muhammadiyah seharusnya tetap memerankan politiknya lewat gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan bukan lewat partai politik praktis. Wallahu a’lam bi shawab.
source http://andymaarif.blogspot.com/2007/03/memotret-perjalanan-politik.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar